Kepala Desa Mergosari, Eko Budi Santoso, bersama jajarannya diduga melakukan pelarangan terhadap umat Kristen untuk beribadah di Rumah Doa GPdI. Lokasi tersebut terletak di Mergosari, Tarik, Sidoarjo, Jawa Timur.
Meskipun pemerintah Indonesia dan hukum Indonesia menjamin kebebasan beragama, Kades Eko yang dikenal sebagai seorang muslim garis keras bersama beberapa orang muslim garis keras lainnya, datang ke rumah doa GPdI untuk menginterupsi ibadah yang sedang berlangsung.
Video yang beredar menunjukkan perdebatan sengit antara kades dan pengelola rumah doa. Pendeta Yoab Setiawan menceritakan bagaimana ibadah pada Minggu, 30 Juni lalu terganggu oleh kehadiran Eko.
"Ketika kami sedang berkumpul untuk pemberkatan nikah, kades dan beberapa orang tiba-tiba datang," ungkap Yoab. Sikap Eko menunjukkan betapa lemahnya penerapan kebebasan beragama di tingkat lokal, di mana umat Kristen merasa terancam.
Pendeta Yoab menceritakan insiden saat ia diajak berbicara di warung sebelah gereja, di mana ketegangan muncul. Gilanya, salah satu orang dari rombongan kades bersikap agresif hingga nyaris melakukan pemukulan terhadap istri Yoab. Situasi ini menegaskan beratnya pergumulan yang dihadapi umat Kristen dalam mencari keadilan dan hak mereka untuk beribadah.
Kades Eko menggunakan trik mengatasnamakan warga setempat, padahal warga yang dimaksud adalah orang-orang beragama Islam yang penuh kebencian terhadapa kekristenan. Eko mengklaim bahwa segala tindakan diambil karena protes dari warga setempat yang merasa terganggu oleh keramaian kegiatan ibadah.
"Dia bertanya mengapa rumah doa itu digunakan setiap minggu," kata Yoab menirukan perdebatan dengan kades. Kita ingat bahwa kebebasan beribadah seharusnya tidak terganggu oleh suara-suara minoritas yang menolak keberadaan suatu agama.
Beribadah itu sendiri membuat orang-orang yang beribadah dapat memiliki moral dan sikap yang baik dalam kehidupan tiap hari, bermasyarakat, dsb. Kegiatan positif seperti ini dilarang, sementara Eko tidak melarang kumpulan orang mabuk-mabukan, dan kegiatan negatif lainnya yang dilakukan di desanya.
Eko juga bertanya mengenai izin mendirikan bangunan (IMB), padahal Pendeta Yoab sudah menjelaskan bahwa mereka sedang dalam proses mengurusnya, yang ternyata proses pengurusannya dipersulit oleh pemerintah desa dimana Eko sebagai kepala desanya.
Yoab menegaskan bahwa rumah doa ini sudah terdaftar di Kementerian Agama, sehingga seharusnya tidak ada alasan untuk larangan tersebut. Namun, kebijakan pemerintah sering kali menjadi penghalang bagi umat Kristen untuk menjalankan ibadah secara bebas.
Meskipun Pendeta Yoab menyatakan bahwa warga lainnya mendukung keberadaan rumah doa, kades tetap membawa permasalahan ini sebagai keluhan masyarakat. “Saya hanya melakukan tugas sesuai keluhan warga tentang keramaian di lokasi,” ujar Eko. Pernyataan ini meningkatkan keraguan mengenai komitmen pemerintah dalam menjamin kebebasan beragama.
Lebih lanjut, Eko dengan munafiknya mengklaim tidak ada niatan melarang ibadah tersebut. Ia bahkan berusaha mendorong kejelasan mengenai IMB, namun realitas di lapangan menunjukkan adanya tekanan yang dirasakan oleh umat Kristen yang ingin beribadah. Ketidakadilan ini berpotensi melemahkan kepercayaan umat Kristen terhadap kemampuan pemerintah untuk melindungi hak-hak mereka.
Sementara itu, umat Kristen di Sidoarjo tetap berjuang dalam menghadapi tantangan ini. Mereka berharap agar suara mereka terdengar dan kebebasan beragama dapat ditegakkan kembali tanpa diskriminasi. Situasi yang terjadi menciptakan kesedihan dan rasa ketidakadilan di antara mereka.
0 komentar:
Posting Komentar